JAKARTA, www.savehalmahera.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Amnesty International Indonesia, dan Asia Justice and Rights (AJAR) mengecam kelalaian negara dalam menyelesaikan kasus Peristiwa Talangsari yang hingga kini belum tuntas. Tragedi yang terjadi pada 7 Februari 1989 ini menewaskan sedikitnya 246 orang dan menyebabkan puluhan lainnya ditahan tanpa proses hukum, disiksa, dan hilang secara paksa. Peristiwa ini masih menjadi luka sejarah yang belum terobati hingga hari ini.
Komnas HAM telah menetapkan peristiwa ini sebagai pelanggaran berat HAM pada tahun 2008, setelah melakukan penyelidikan pro-yustisia sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Meskipun begitu, keadilan bagi para korban tetap belum terwujud.
Ketua PK2TL, Edi Arsadad, menyebutkan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai langkah yang justru merendahkan martabat para korban.
“Mulai dari Deklarasi Damai sepihak pada 20 Februari 2019, hingga surat komitmen perbaikan infrastruktur pada 16 Oktober 2020 yang sama sekali tidak menyentuh kebutuhan korban,” ungkap Edi di Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Edi juga menyoroti pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial (PPHAM) pada 22 Agustus 2022 yang hanya berfokus pada bantuan materiil. Menurutnya, langkah ini seakan menganggap Peristiwa Talangsari bukan sebagai kejahatan serius yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan.
Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, serta Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, pada 10 Desember 2024 mengusulkan penyelesaian kasus ini melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, Edi menilai bahwa alasan kesulitan mengumpulkan bukti karena jarak waktu yang sudah lama hanya merupakan upaya negara untuk menghindari tanggung jawab hukum dan mempertahankan impunitas pelaku.
“Rekonsiliasi itu bukan pengganti proses hukum. Harus ada pengungkapan fakta, termasuk siapa pelakunya dan berapa korban yang sebenarnya,” tegasnya.
Memperingati 36 tahun peristiwa ini, KontraS, PK2TL, dan AJAR menyampaikan tiga tuntutan kepada pemerintah: pertama, Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan pro-yustisia kasus Talangsari ke tahap penyidikan dan penuntutan; kedua, Komnas HAM dan Jaksa Agung meningkatkan koordinasi untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan; dan ketiga, pemerintah memenuhi hak korban atas pengungkapan kebenaran dan pemulihan, termasuk memorialisasi peristiwa tersebut.
“Pengungkapan kebenaran penting supaya sejarah tidak dimanipulasi dan korban mendapatkan keadilan yang layak,” pungkas Edi. (Tim/Red)