JAWA TIMUR, www.savehalmahera.com – Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025, Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Puguh Wiji Pamungkas, kembali mengingatkan bahwa anggaran besar belum otomatis menjamin kualitas pendidikan. Ia menyoroti kondisi banyak sekolah di Jawa Timur yang masih jauh dari standar kelayakan, meskipun anggaran pendidikan daerah telah mencapai sekitar Rp9 triliun.
“Dengan anggaran sebesar itu, seharusnya tidak ada lagi ruang kelas yang bocor, bangunan rapuh, atau fasilitas belajar yang minim. Tapi kenyataannya, masih banyak sekolah yang tidak layak,” tegas Puguh yang juga menjabat sebagai Sekretaris Fraksi PKS DPRD Jatim.
Ia menilai bahwa pendidikan berkualitas dimulai dari lingkungan belajar yang mendukung. Tanpa infrastruktur yang memadai, proses belajar mengajar tidak akan maksimal.
Tak hanya itu, Puguh juga mengkritisi kesenjangan kualitas guru antara kota dan desa, serta rendahnya tingkat literasi yang masih menjadi persoalan mendasar di provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Indonesia ini.
“Anak-anak desa berhak atas pendidikan yang sama baiknya dengan anak kota. Ketimpangan ini harus segera diatasi,” katanya.
Selain itu, Puguh menyoroti praktik pungutan liar di sekolah-sekolah, yang menurutnya tidak pantas terjadi karena sekolah sudah mendapat banyak sumber dana seperti BOS, BPOPP, dan APBD. “Pengawasan terhadap penggunaan dana pendidikan harus diperketat. Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci,” ujarnya.
Ia juga mendorong sinkronisasi antara kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja. Tingginya angka pengangguran dari lulusan SMA dan SMK menjadi indikasi bahwa sistem pendidikan belum relevan dengan dunia industri.
“Pendidikan bukan hanya soal ijazah, tapi juga soal kesiapan hidup. Kurikulum harus adaptif terhadap perubahan zaman,” tambahnya.
Puguh menutup pernyataannya dengan menyerukan kolaborasi lintas sektor demi pemerataan pendidikan. Ia berharap momentum Hardiknas 2025 bisa menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak bisa hanya dinilai dari angka anggaran, tetapi dari dampaknya bagi masyarakat.
“Sudah waktunya kita bertanya, ke mana triliunan itu mengalir? Karena selama sekolah masih tak layak, pekerjaan kita belum selesai,” pungkasnya.
Pewarta : Leny